Halaman

Minggu, 28 Juli 2013

Seni Mendengarkan

Setiap orang pastilah mempunyai kebutuhan untuk didengar. Tidak peduli usia, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan. Karena saat seseorang merasa didengar dan mendapat tanggapan yang sesuai, ia akan merasa "ada" dan "berarti". Tidak hanya itu, efek positif dari perasaan 'didengar' ternyata cukup luas, yakni meningkatnya perasaan bahwa dirinya berharga, merasa diakui, diterima dan mungkin masih banyak lagi perasaan positif lainnya.

Walau sebenarnya tampak mudah dilakukan, namun ternyata mendengarkan membutuhkan effort yang tidak sedikit. Kita mungkin sering tidak menyadari saat sedang mengobrol dengan teman namun pikiran kita pergi ketempat lain. Lalu tiba-tiba terkaget karena teman kita ini sudah mengakhiri ceritanya dan mengatakan "tanggepin cerita gue tadi dong".
Atau lebih parah lagi, saat sedang mengobrol dengan teman, kita sibuk dengan gadget sendiri. Sehingga kita lupa mengangkat wajah kita untuk menyadari bahwa teman yang sedang curhat itu sudah manyun dan ternyata sudah berhenti cerita dari beberapa menit sebelumnya.

Kita baru bisa dikatakan telah mendengarkan saat kita mampu memberikan tanggapan yang sesuai. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses panca indera telinga telah terintegrasi dengan baik pada otak. Ditambah dengan pemberian atensi yang pas, kita dapat mengolah dan menginterpretasi setiap obrolan yang telah masuk dari telinga kita. Disinilah kita bisa membedakan mana pendengar yang serius dan mana yang tidak. Pendengar yang serius telah menerima informasi dan mengolahnya dalam otak sehingga mampu menanggapi obrolan dengan sesuai. Kebalikannya dengan pendengar yang tidak serius, ia hanya tampak diam dan mendengarkan namun sesungguhnya tak ada informasi yang masuk ke dalam otaknya.

Saya jadi teringat saat masih bekerja di LSM dulu. LSM kami pernah mengadakan pelatihan "mendengar aktif" untuk para korban bencana Merapi. Pertama-tama kami mendesainnya dengan mengajak para peserta melakukan sebuah role play. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, yang nantinya akan bekerja berpasangan. Nanti dua orang tersebut memiliki peran dan tugasnya masing-masing olehkarenanya mereka di-briefing ditempat yang terpisah. Orang pertama bertugas untuk melakukan curhat tentang apa pun yang kira-kira sedikit melibatkan emosi mereka. Sedangkan  orang kedua, kami memberi "tugas nakal" kepada mereka, yakni kami meminta mereka untuk mendengarkan curhat dengan disambi bermain hape. Tidak hanya itu, orang kedua hanya boleh berkomentar dengan kalimat "hmm" atau "oh ya?". Orang kedua ini dilarang untuk menatap mata temannya yang curhat, mereka diharuskan sibuk bermain hapenya.

Setelah 15 menit berlalu, kami bisa mengamati bahwa orang-orang yang berperan sebagai yang melakukan curhat tampak emosional dan bahkan ada orang yang sudah marah-marah karena merasa dicuekin oleh temannya. Mereka mengaku sangat kesal kepada temannya yang mencuekan dirinya, dan mereka juga merasa bukannya menjadi lega setelah curhat namun justru bertambah emosi. See? Every body needs to be heard. 


Cheers!

Narastri Utami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar