Halaman

Rabu, 25 September 2013

Lepas "sepatumu" saat mendengarkan curhat

Tahukah anda, bahwa mendengarkan curhat dari orang yang berbeda usia itu memerlukan ketrampilan yang berbeda pula? Cara menanggapi curhat teman seumuran tentu berbeda dengan cara menanggapi curhatan orang yang lebih muda atau lebih tua.

Bagi saya pribadi, menanggapi curhatan seorang yang lebih muda itu sangat menantang. Makin jauh selisih umurnya, makin menantang. Apalagi kalau tema-tema curhatnya adalah tema soal cinta :)


Sudah hampir selama dua bulan ini, saya lumayan rutin mendengarkan curhatan anak-anak yang mempunyai selisih umur 10 tahun lebih muda. Mereka rata-rata adalah anak kelas 1, 2 dan kelas 3 SMP. Tidak pernah terfikirkan sebelumnya jika mendengarkan curhat anak SMP akan se-menantang ini. Sungguh. Mendengarkan curhatan kisah cinta mereka tuh sungguh membuat saya membutuhkan ekstra tenaga dan ekstra konsentrasi! yaps! Kenapa demikian? Sepele sih. Karena saat mendengarkan kisah cinta mereka, sering sekali bibir ini tergeraaaak untuk senyum senyum sendiri. Atau kadang tanpa disengaja terbersit selentingan-selentingan di hati yang menyebabkan ingin tertawa karena mendengarkan kisah mereka yang 'lucu' =D.

Kita, sebagai orang yang berusia 20 tahun plus plus, bisa dibilang telah memiliki kisah pengalaman cinta yang (biasanya) lebih banyak. *Uhuk! Yah setidaknya orang yang berusia 20 ++ tentu saja telah menyaksikan banyak kisah cinta, mungkin dari kisah pengalamannya sendiri, kisah percintaan sahabatnya, ataupun kisah-kisah film roman yang telah banyak ditonton. Sehingga bisa dikatakan bahwa orang usia 20 ++ telah lebih matang untuk melihat mana cinta yang serius, mana cinta yang bohongan, ataupun mana cinta yang serius tapi ditunjukkan dengan bohongan. *halah

Nah, sehingga saat kita mendengarkan curhat cinta anak SMP, kadang bikin kita pengen nahan senyum senyum sendiri.. Pengen rasanya bilang ke mereka "ya ampun dek, sudahlah, nikmati masa muda mu... ga usah serius-serius gitu mikirin kisah cintamu. Hidupmu masih panjaaaang.." Atau kadang terbersit juga dalam hati, kalimat-kalimat sejenis "tenang... cuma kayak gitu doang kok sedih sih?"

Namun, karena untuk menjaga sikap profesional, tentulah kita tidak boleh tertawa! Sebisa mungkin, kita empati dan menghayati bahwa masalah yang mereka ceritakan itu benar-benar serius bagi mereka. Walau dalam hati kita, kita tahu betul bahwa itu sebenarnya sangaaaat sepele. Tapi toh kita kudu menjiwai kegalauan mereka. Disinilah situasi yang menantang! Bagaimana menghayati kegalauan cerita anak SMP yang sedih karena putus dengan pacarnya, padahal baru jadian dua hari yang lalu. Ataupun menghayati rasa cemburu seorang cowok SMP yang melihat pacarnya sedang mengobrol dengan kakak-kakak mahasiswa yang sedang PPL.

Disinilah menantangnya! disinilah serunya menjadi psikolog. Belajar mendengarkan permasalahan orang tanpa boleh memilki pikiran-pikiran menyepelekan pun merendahkan. Apa pun cerita yang dibawa oleh 'klien' harus dihargai dan dibantu untuk menyelesaikannya tanpa bersikap menggurui dan menggampang-gampangkan.







2 komentar:

  1. curhatan ibu2 ga kalah seru, mulai dari kelakuakn anak atau suami, mertua, ipar, sampai tetangga...terkadang (sering juga sieh) malah dicurhati harga2 sembako yang melonjak sedangkan penghasilan (dirasa) belum bisa mencukupi kebutuhan pokok keluarga...disini juga ga kalah menantang, sebab, sayapun mengalami hal2 tersebut...wwwuuuaaahhhh, bener2 ditantang untuk bisa objektif, jangan sampai empati berubah menjadi simpati, sehingga dapat menyebabkan transferen... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aaah,, iya ya mba? seru kayaknya...hmm berarti kita memang akan mempunyai sensasi yang berbeda-beda ya tiap mendengarkan curhat org... daaan iya, ttp bertahan dlm batasan empati itu penting bgt! thx sharingnya mba hannaaa

      Hapus