Halaman

Minggu, 16 Maret 2014

Gerimis siang itu...

Manusia adalah mesin pencipta makna. Memanglah benar bahwa manusia suka sekali memberi makna. Situasi yang sama dapat diberi makna yang berbeda-beda.

Seperti gerimis siang itu. Gerimis merupakan proses yang sama dan telah terjadi dari (mungkin) dari berjuta-juta abad yang lalu. Sama seperti proses hujan. Proses naiknya uap air ke awan, lalu melalui proses kondensasi yang akhirnya ia turun lagi ke bumi. Selalu seperti itu. Ia tidak pernah ingkar dengan siklusnya. Namun entah mengapa manusia memberi makna yang sering berbeda-beda pada gerimis.


Ada manusia yang mengumpat kesal. Mungkin gerimis siang itu dimaknai sebagai penggagal rencananya untuk pergi hangout dengan teman-temannya. Atau mungkin ada juga yang kesal dikarenakan tidak membawa mantol sehingga harus berbasah-basah-an, padahal ia harus tampil di depan kelas untuk mengajar kuliah. Namun mungkin ada pula yang memaknai gerimis ebagai anugrah yang telah ditunggunya sejak lama. Seperti orang-orang di Sumatra saat ini yang sedang #melawanasap. Baginya gerimis merupakan setitik harapan yang dapat mengubah banyak keadaan.

Begitu juga dengan diriku, Zyra. Aku memaknai gerimis siang itu dengan sedikit berbeda. Entah mengapa gerimis ini mengingatkanku pada sajak lama yang pernah kubaca, sajak milik Fahd Djibran. Sajak yang mengingatkan tentang proses hubungan kita, Zyra. Ya, mungkin memang terdengar sedikit lebay. Namun Zyra dengarkanlah baik-baik.

Seperti gerimis
aku jatuh cinta
perlahan-lahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar